Kuantan Singingi, – Pencemaran Sungai Singingi bukan lagi sekadar bencana lingkungan. Ini adalah kejahatan ekologis yang dilakukan secara terang-terangan dan sistematis dan jika negara terus diam, maka negara ikut bersubahat.
Ribuan ikan mati bukan karena perubahan musim. Sungai tidak berubah bau dalam semalam. Air tidak menjadi racun secara tiba-tiba. Semua tanda menunjuk ke satu sumber: Pabrik Kelapa Sawit milik PT Sawit Inti Makmur (SIM) yang baru beroperasi dan diduga membuang limbahnya langsung ke anak sungai. Dan kita semua tahu: ini bukan pertama kalinya.
Sudah terlalu sering warga Riau menjadi korban atas nama pembangunan. Setiap kali rakyat bersuara, mereka diredam dengan narasi “lapangan kerja”, “penggerak ekonomi”, atau “keuntungan daerah”. Tapi mari jujur: siapa yang benar-benar menikmati hasil dari kehadiran pabrik-pabrik itu.
PT SIM adalah yang diduga contoh telanjang dari bagaimana korporasi bisa bebas merusak tanpa pengawasan, dan saat dipergoki, justru diam membisu. Wartawan dihalangi. Aktivis dianggap pengganggu. Warga yang protes dicap anti-kemajuan. Ini bukan investasi ini kolonialisme gaya baru.
Di mana pemerintah saat sungai dijadikan got industri? Di mana Dinas Lingkungan Hidup saat warga kehilangan sumber air bersih? Mengambil sampel air tidak cukup. Warga tak butuh angka di laboratorium untuk tahu mereka sedang diracun.
Ini bukan tuntutan. Ini ultimatum moral. Penutupan permanen pabrik bukan keputusan emosional. Ini adalah keputusan rasional demi mempertahankan hidup. Karena ketika air rusak, pangan rusak, dan udara rusak—tak ada lagi yang bisa dibangun di atas tanah ini.
Ketua Karang Taruna Kecamatan Singingi Hilir menegaskan sikap kecewa mendalam terhadap PT SIM yang diduga pembuang Limbah:
“Saya sangat menyayangkan apa yang dilakukan oleh manajemen pabrik SIM itu. Saya ingin mempertanyakan kajian dan dampak limbah pabrik itu, serta legalitas dan AMDAL-nya apa sudah lengkap. Karna baru sekali dampak limbah seperti ini dasyat nya, sampai ikan patin, baung, geso mayoritas ikan di bawah mati semuanya,” ujar Alhadi Melalui Pesan Whatsappnya.
Pernyataan ini bukan sekadar ekspresi kekecewaan. Ini adalah cermin dari kegelisahan kolektif warga yang merasa dikorbankan tanpa pernah diajak bicara. Sungai adalah nadi kehidupan, bukan tempat uji coba limbah industri.
Kita tidak butuh perusahaan yang bisu saat rakyat menderita. Kita tidak butuh negara yang membela pencemar ketimbang korban. Dan kita tidak butuh sungai mati untuk menyadari bahwa ini sudah sangat keterlaluan.
Sungai adalah kehidupan. Dan siapa pun yang mengotorinya, harus dihentikan. Sekarang juga.